Beberapa waktu lalu aku sempat
memposting di Instagram soal maraknya tempat wisata artifisial. Maksudnya
adalah mengarah ke tempat wisata buatan manusia, lebih tepatnya lagi ke spot
selfi atau spot foto yang ditambahkan ke lokasi wisata. Apa itu salah? Nggak sepenuhnya,
tapi yuk kita renungkan saja, siapa tahu kegundahan kita sama. Memang nggak
semua objek kekinian di lokasi wisata itu dasarnya latah. Ada kok yang pakai research
dulu, tapi ya gimana ya intinya sih sepertinya kebanyakan dari kita mulai
jengah. Lalu kenapa aku nulis ini? Siapa tahu akan muncul ide-ide dari kalian
soal topic pariwisata atau malah kalian juga mau curhat terkait hal ini.
Perenungan di tepi jendela
Sebenarnya sejak sebelum aku
berangkat ke Sydney juga sudah kepikiran sih. Tapi pas di tepi jendela
sore-sore itu aku semakin yakin dengan apa yang aku renungkan. Mungkin karena
aku jadi bandingin dengan Australia.
Bukan aku benci negaraku, justru
sebaliknya ya. Aku ngerasa keramaian yang muncul tentang wisata artifisial ini
nggak akan lama. Bukan suatu hal yang bisa sustain bertahun-tahun, menghidupi
masyarakat sekitar, menjadi pemasukan daerah, memberikan nama harum buat daerah
dan lebih luas lagi Negara.
Semua harus instagramable?
Ada masa dimana hidupku terasa
bahagia kalau sudah posting Instagram. Ya, apa-apa buat Instagram. Datang ke
tempat A, makan di tempat B, demi Instagram. Gara-gara Instagram aku memang
jadi mengenal banyak hal, tapi itu sudah nggak lagi sekarang.
Aku nggak perlu menata komposisi
makanan sebelum malahapnya, mencari spot dengan lighting terbaik untuk OOTD,
memperhatikan jumlah likes dan komentar. Ya, mungkin ada hal-hal lain yang
menjadi konsentrasiku daripada Instagram sekarang.
Nggak semua hal harus
instagramable kan? yang penting dan membahagiakan adalah saat aku bisa
mengendalikan diri sehingga bisa menikmati setiap momen hidup tanpa distraksi. Termasuk
hal ini adalah saat sedang berwisata. Kadang cuma ingin duduk dan membaca buku
di bawah pohon, seperti jaman kuliah dimana aku sering ke kebun raya sekedar
buat ngaso.
Artifisial atau substansial?
Apartemenku di Sydney nggak jauh
dari Hydepark, taman luas di jantung kota. Setiap hari aku melihat ada saja
orang-orang yang sekedar ngerumpi di taman, baca buku sambil guling-guling di
rumput, main catur, bengong, hahhaa. Kemudian aku menyimpulkan, inilah bentuk
piknik yang substansial. Di taman itu nggak ada spot selfi atau apalah yang
lagi dibangun secara massif di Indonesia. Hanya ada pohon, lapangan rumput,
kolam, pedestrian, dan kursi.
Nggak semua yang artifisial jelek
kok. Aku salut sama Bandung yang menjadi pioneer taman-taman kota tematik. Itu artifisial
lho, tapi nggak norak. Memang sepertinya dibuat bukan dengan tujuan “buat foto
biar viral” tapi memperhatikan pula aspek keberlanjutannya dari berbagai aspek.
Pada suatu akhir pekan yang
dingin, aku main ke pegunungannya New South Wales yang salah satu spotnya 90%
mirip banget sama tebing keraton di Bandung. Tidak ada gardu selfi terbuat dari
kayu apa adanya, tidak ada payung-payung ditaliin. Lalu apa yang mereka jual? Jalur
tracking dari sedang hingga berat. Infrastruktur dibuat aman dan nyaman,
termasuk keberadaan toilet yang airnya hangat. Jalur angkutan umum, papan
petunjuk yang jelas, dan area duduk-duduk.
Lhoh kan yang penting masyarakat
setempat berkembang dengan adanya wisata baru dimana-mana?
Mungkin sebagian besar dari
kalian akan berpendapat demikian. Tapi jika kita sibuk memviralkan tanpa ‘menyiapkan’
SDM di lokasi, yang ada hanya sederet list tempat wisata yang terancam nggak
bisa bertahan bahkan menciptakan konflik baru. Siapa sih targetnya? Milenial? Ngejar
tren? Kalau tren berubah?
Munculkan Ruh wisata
Jika kalian membaca hingga alinea
ini, kuharap nggak ada yang kalian skip ya. Biar apa? Biar perenungan barengnya
ngasilin solusi. Aku nggak mau hanya melempar isu tanpa ngasih ide baru. Wisata
itu penting, pengembangan ekonomi itu bagus, lakukan agar bisa menjadi hal yang
berkelanjutan. Membuat hal artifisial dengan memasukan ruh, bukan hanya sekedar
indah dan berpola Instagram. Terkadang niat munculin spot wisata baru punya
tujuan bisnis. Nggak salah kok. Tapi tetap ya, substansi dari sapta pesona itu
bukan hanya sekedar wacana. Belum tahu sapta pesona? Googling dulu deh hahhaa. Sebelum
menulis aku membaca beberapa jurnal yang mengangkat topik ini, sudah banyak
yang peduli dan tahu harus bagaimana. Itu bagus.
Aku ni sering dikritik pak su ahahha, katanya klo di tempat wisata ya nikmatin tempat wisatanya dulu atuh mbul, duduk duduk kek, nyantai, ngobrol ngobrol ngadem... ini malah sibuk fota foto mulu buat ditaroh di blog wakakak....di resto juga, makan ya cepetan dimakan keburu dingin klo difoto foto mulu....#seketika ku tertohok (tapi kadang susah, pengennya tetep diupload wkwkwk)...
ReplyDeleteHmmm wisata yang dibikin manusia semata untuk banyakin tempat selpie ya,
klo aku pribadi sebenernya it's okay kok jeung misal selama konsepnya emang ga ngerugiin pihk pihak tertentu. Nah, akan jadi kurang respek jika pihak pengembang malah lebih mementingkan nilai 'kekinian' tapi sebenernya merusak tatanan landskap yang ada sebelumnya. Misalnya nih, udah bagus-bagus ada ruang terbuka hijau yang dipenuhi dengan pepohonan rindang, terus ada pula trotoar yang dimaksudkan untuk pejalan kaki, eee tetiba kok suatu ketika area RTH tersebut disulap oleh pengembang swasta (ya mungkin ada andil juga pemda setempat yang aku rasa jadi kurang bijak) jadi tempat wisata kekinian yang harus mengikis trotoar jadi tempat nongkrongnya PKL, pepohonan rindang tetiba ditebangin en malah dibikin spot patung atau ikon ikon kekinian untuk foto foto, bukannya tampak asri malah jadinya tambah ruwet bin gersang ga teratur. Di konsep inilah aku jadi kecewa...
nahh iya Nit, soal konsep itu kita sepemikiran. kalau menyangkut alam, bagusnya alami. misal mau bikin yang artifisial ya di lokasi lain saja
DeleteAku juga sempat berfikir begitu , karena jika sudah banyak orang tau dan sudah kesebar Kemana mana paling juga orang orang bosan dan perlahan meninggalkan tempat wisata itu, lalu bikin lagi di tempat yang baru,
ReplyDeletesustainable yang masih sering dilupakan ya mba
DeleteTujuan utama teman-teman kita di sini kayaknya memang sedang ada dalam fase: piknik biar punya foto bagus. Jadi bukan piknik untuk me-refresh pikiran.
ReplyDeletesebab tren nya masih seperti itu ya mba. apakah akan selamanya?
DeleteAku akhir2 ini bosen sama tempat2 piknik buatan seperti itu, mungkin karena aku juga sudah bosan dengan instagram haha. Lebih suka yg alam2 gitu sih, sekarang lagi irit banget ngambil2 foto. Banyakan menikmati pemandangan dengan mata kepala sendiri. Setelah aku jalani beberapa kali, enak banget rasanya hehehe.
ReplyDeleteAku juga udah jengah soal ini
ReplyDeleteDi Jember, ada pantai yang cantik banget dan terkenal, namanya Papuma. Tapi sebulan lalu malah dikasih spot baru dengan pagar putih dan tangga warna-warni. Haha, jadinya kan... pengen ketawa. Ini mereka atas dasar apa sih ngewarnain yang udah alami
Ada juga, masih di Jember, yaitu pantai payangan yang punya 4 bukit berumput hijau di pinggir pantai. Ada sepetak lahan (10 x 10 m) yang rumput2nya disiangi, demi adanya penambahan bunga2 merah yang membentuk i love u. Duh plis lah
Tempat wisata kok jadi norak2 gini sih
Kalo di bekasi ada tempat yg buat bengong2 cantik gitu ga mba?😁
ReplyDeletePas dulu awal - awal memang terlihat bagus mbak. Apalagi kalau spot buatan ini memang bener-bener baru dan berbeda dari spot foto sebelum-sebelumnya. Tapi makin kesini kok saya jadi sependapat sama Mbak Inayah. Bosen. Apalagi sebagian besar spot yang ada saat ini cuma "nyontek" dari pendahulu-pendahulunya. Kadang bukan menambah cantik si tempat wisata, tapi malah merusak dan mengilangkan esensi asli dari lokasi tersebut. *miris*
ReplyDeleteJujur dech kalo saya sendiri kurang suka bahkan kurang menikmati kalo datang ke tempat wisata malah heboh foto2 apalgi foto selfi. Sesekali foto bolehlah jika itu benar2 mempesona. Tapi kalo keseringan, rasanya kebutuhan utama kita untuk berwisata -refreshing- jadi tidak terpenuhi. Apalagi aku cenderung tipe introvert. Jadi, aku lebih seneng klo ke tempat wisata yang natural misalnya duduk2 memandang pemandangan sekitar, ngobrol intens dg 1 atau 2 orang, atau bahkan bs ngopi2 dan nulis2/baca2. Saya rasa itu lebih sesuai dg tujuan dibuatnya tempat wisata. Jengahnya sebenarnya kalo datang ke tempat wisata, lihat pengunjung lain yg sebagian besar anak2 muda/ abg, semua pada memegang camera masing2 lengkap dg tongsisnya. Haduhhh!!
ReplyDelete