Tak pernah sama sekali kusangka, ketika siang itu saya menemukan buku dengan judul Pekalongan yang (tak) terlupakan. Lewat buku ini, saya dibimbing untuk menapaki jejak-jejak nenek moyang. Fakta-fakta segar tentang tempat-tempat yang biasanya saya lewati sambil lalu saja pelan-pelan memasuki fikiran. Gara-gara buku ini juga, saya jadi menelusuri peta desa dimana saya dilahirkan. Sebuah peta bertahun 1911 di universitas Leiden Belanda.
Buku bacaan sejarah selalu membimbing saya untuk mencari tahu lebih dalam akan suatu hal. Seperti saat membaca Tetralogi buru atau The Jacatra Secret, sumber pengetahuan baru saya dalami lebih jauh. Sejarah nasional atau sejarah Jakarta tentu sudah banyak yang menuliskannya, lalu bagaimana dengan sejarah tempat kelahiran saya? Pekalongan, konon sudah ada sejak sejak zaman dahulu. Banyaknya bangunan bersejarah di Pekalongan sempat membuat saya bertanya-tanya, tetapi yang muncul hanyalah cerita yang diawali ‘katanya’.
Identitas Buku
Judul: Pekalongan yang (tak) Terlupakan
Penulis: M. Dirhamsyah
Genre: Non fiksi
Jumlah halaman: 179
Penerbit: Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Pekalongan
Tahun terbit: 2014
ISBN: 978-602-70198-0-5
Sampul Belakang
Sebuah upaya mengenalkan generasi muda pada kebudayaan dan sejarah masa lalu Pekalongan. Belajar sejarah memang sebuah keharusan bagi setiap orang. Sebab sejarah atau masa lalu seperti kaca spion di kendaraan kita, kita harus melihatnya sekali-kali agar tidak kecelakaan.
Kita harus melihatnya sekali-kali untuk melangkah ke depan, berbelok atau maju. Tapi, tidak bijak juga jika spion itu kita lihat terus-menerus tanpa bergerak maju, atau pun jalan di tempat. Terbuai dengan kejayaan masa lalu, kemudian kita hanya berbangga-bangga tapi tidak bisa bergerak untuk menggapainya lagi.
Dengan mempelajari sejarah kita belajar dari pengalaman orang-orang terdahulu. Dengan demikian, maka kita bisa terhindar dari kegagalan yang sama. M. Dirhamsyah bersama tim dari KPAD (Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah) berupaya menggali sejarah masa lalu Pekalongan, dengan mengajak pembaca buku ini untuk dapat menelusuri keadaan Pekalongan tempo dulu.
Review
Buku ini mengupas sejarah kota Pekalongan dalam 10 bab. Dimulai dari Pekalongan sebelum V.O.C hingga pembahasan mengenai pemimpin Pekalongan dari masa ke masa.
Lingkup
Masjid jami’ aulia, kampung pecinan, pemakaman sapuro, serta sungai Kupang menjadi awal untuk pembahasan lebih lanjut. Ruang lingkupnya memang hanya di wilayah kota Pekalongan saja. Tempat-tempat bersejarah di kawasan heritage walk jalan Jetayu sepeti museum batik, kantor poss, fort Pekalongan, Jembatan Loji, dan Klenteng po an thian tak luput dari buku ini. Tidak hanya soal tempat bersejarah, objek lain seperti sekolah dan budaya lokal termausk kuliner khas juga dikupas sejarahnya secara rinci.
Kota Perdagangan
Ternyata Pekalongan sangat maju dan merupakan daerah penting. Saya sebelumnya pernah membaca buku tentang Sugar Plantation di Jawa dan mengetahui bahwa Pekalongan memiliki kebun tebu serta pabrik gula besar. Bahkan saking kayanya, sampai ada rel kereta masuk ke wilayah perkebunan lho untuk mengangkut gula dari kebun ke pelabuhan.
memasuki era pasca kemerdekaan, Pekalongan adalah pusat perdagangan kain ‘mori’ serta batik. Kekayaan melimpah itu masih ada bekasnya, salah satunya adalah planetarium Jakarta yang saya masuki saat darmawisata SMP. Kok bisa? Penasaran kan?
Jejak Freemansory di Pekalongan
Ketika membaca The Jacatra secret (reviewnya baca di sini), saya menemukan istilah loji. Yang terbersit kala itu adalah ‘apakah pengertian loji di sini sama dengan loji di Pekalongan?’. Loji di The Jacatra Secret adalah tempat berkumpulnya penganut freemansory. Pemanggilan arwah mereka lakukan dengan cara yang mengerikan.
Sebelum membaca buku Pekalongan yang (tak) terlupakan, loji yang saya kenal di Pekalongan adalah anam jembatan. Brug Lodge (bahasa Belanda) yang artinya jembatan loji. Ternyata, jembatan di sungai Kupang kota Pekalongan ini memang ada hubungan dengan freemansory. Letaknya berdekatan dengan loji yang diberi nama Sosietet.
Freemansory kala itu dibawa oleh salah seorang Belanda. Karena aktivitas pemanggilan arwah, masyarakat lokal Pekalongan kurang menyukainya. Gedung setan tersebut sering saya lewati lho, karena sekarang dijadikan GOR.
Rate
3 dari 5
Bahasa yang dipakai di buku ini bukan seperti cerita fiksi, tapi menggunakan bahasa jurnalistik. Jadi, kalau kamu bukan penikmat sejarah kemungkinan akan merasa bosan. Meski begitu, belajar sejarah memang tidak perlu terburu-buru seperti membaca teenlit bukan?
Beli dimana
Buku ini tidak tersedia di toko buku, kalau kamu ingin membelinya, bisa ditebus 70ribu rupiah di Goedang Kaos.
Twitter| IG: @Goedangkaos
Alamat: Jl. Hos Cokroaminoto 74 Pekalongan
Whatsap: 089617096133
Baca online
Bisa lho baca online, eh tapi ini di website resmi penerbitnya ya...jadi nggak melanggar hak cipta. Full version pula.
Linknya ini ya: Baca online buku Pekalongan yang (tak) terlupakan
buku ini layak disebut sebagai katalog warisan budaya. Semoga menyusul disusun pula sejarah wilayah kabupaten Pekalongan.
Kamu sudah tahu sejarah kota kelahiranmu?
Tulisan: Inayah | Foto: Irkham Nz
mulai ngehit nih pekalongan si kotak batik, kayak solo ditempat saya tinggal kak :)
ReplyDeletePekalongan sudah ngehits berabad-abad lalu kalau soal Batik :)
DeleteTahu dong khekhekhe �� daerah jawa tengah jawa timur emang terkenal gulanya ya. Kalo kami di Bandung senengnya minum teh pahit, karena emang penghasil perkebunan teh. Kalo nyari teh manis yg enak mah emang harus ke ke daerah jawa tengah hehehe eh di cirebon juga teh manisnya enak, secara penghasil gula juga. Gak ada teh manis enak di Bandung �� ini gak diupload ke pekalongankita, nay?
ReplyDeleteNanti di blog Pekalongankita dibahas per lokasi teh Ulu :) tapi rujukannya ke link sini wkwkwk *biar idup semua blognya
DeleteAku buka linknya,
ReplyDeletekayaknya tetep enak baca buku fisik ya daripada digital.
Nenekku orang Pekajangan (tapi sudah di Jogja dan sudah meninggal juga sih), jadi sesekali suka ke sana. Kalau ke sana... nggak doyan makan. Nggak ada yang kusukaaa... maap hahaha
Oiya?
DeletePekajangan itu makananya super gurih-gurih begitu hahhaa. Lemak everywhere.
Belajar sejarah melalui buku memang mengasyikkan mba. Apalagi nanti bakal tahu banyak ilmu saat berkunjung ke suatu tempat :)
ReplyDeleteBetul banget mba :)
DeleteAku buka link buku digitalnya dan sepertinya memang lumayan lengkap isinya membahas Pekalongan. Cuma baca buku sejarah yang hitam putih memang agak butuh perjuangan sih.
ReplyDeletePerjuangan bangett Dew :)
DeleteMba .. Pekalongan salah satu yang saya incar untuk dikunjungi seteelah April kemaren jalan ke Cirebon dan Kuningan.
ReplyDeleteSelamat berkunjuung ya
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteIstilah Loji mungkin perlu dikaji lagi. Apa betul Loji berhubungan dg frremansory? Karena sy pernah nempati rumah dinas di daerah Salatiga yang orang sekitar menyebutnya dg istilah Loji. Memang rumahnya masih kental dg nuansa kolonial, ukuran pintu, jendela, lantai, kamar yg sy tempati ukurannya 6x7 m.
ReplyDeleteWah fix tu tempat ibadah mereka
DeleteJadi penasaran nih sama isi bukunyaa...
ReplyDeleteMonggi bisa dicek dulu versi online nya
Deletejadi pengen ke pekalongan inayah
ReplyDeleteWhaaa..iya sini sini :)
DeleteKeren ya klo tiap daerah dibukukan gini...
ReplyDeleteIya jadi sejarah ngga cuma 'katanya' saja ya
DeleteKayaknya bukunya seru banget, tapi aku belum pernah ke Pekalongan. Padahal orang Jateng jg. Huhuu
ReplyDeleteSini sini berkunjung mbak :)
DeleteSelain batik, apa yang menarik dari pekalongan ???
ReplyDeleteBanyak oom. Pegunungan ada...lautan ada...silakan cek di label 'Pekalongan' hihihi
DeleteAku suka baca, suka sejarah dan suka akan kisah-kisah dari berbagai daerah di Indonesia
ReplyDeleteSemoga berkenan baca sejarah Pekalongan ya mbaa
DeleteDulu waktu sekolah kenal kota2 di indonesia dan dunia dgn lebih dekat ya lewat buku.. bisa lebih deskriptif..
ReplyDeleteIh nanti kayaknya tulisan2 mba Nay di pekalongankita juga bisa jadi bahan buku juga... amin
Wah aku masih cupu mba buat nulis buku sejarah hehe
DeleteTinggal disana jaman sekolah sih ya, kurang peduli dg sejarahnya, isinya main melulu. Sekarang jadi tertarik, ntar ah kalau kesana lagi ditelusuri.
ReplyDeleteMinimal ke heritage walk ya mba :)
DeleteAku seneng deh mampir ke blognya Inayah. Jadi mengenang masa-masa tinggal di Pekalongan dulu jamannya walikota pak Samsudiat (udah lama banget yaa) ehehhee... :D
ReplyDeleteDulu kemana-mana naik sepeda. Sekarang masih banyak yang naik sepeda gak ya?
Hy kakk...wah iya sampai sekarang masih banyak kok oranv bersepeda. Apalagi kalau pagi saat anak2 berangkat sekolah dan pekerja2 mau ke pabrik atau tempat mbatik
DeleteKamyu jd duta pekalongan aja in
ReplyDeleteKalau jalan2 ke daerah Sragi nah disitu peninggalan kerajaan tebu dr jaman belanda. Sepertinya relnya msh ada deh. Suasana kalau kita kilas balik ke belakang mmg terlihat sisa2 kejayaan era itu. Sekarang antar perusahaan tebu/gula konon mrk msh mengadakan upacara "manten tebu" atw apalah istilahnya, besar2an dan layaknya hajat pengantin sungguhan, seminggu sp sebulanan. Tapi sayangnya blm nemu lg upacara spt itu...
ReplyDeleteMengenai Pak Dirham, jangan ditanya deh. Diplomat kawakan pekalongan. Semoga ada penerusnya ya In yg bs bercerita dgn bgt semangatnya. Mudah2an suatu saat kita bisa nelusurin Heritage Trail bareng bersama beliau ya...
trims banget untuk tipsnya. blog seperti ini yang saya suka..selalu memberikan informasi yang bermanfaat untuk para pembaca..update trus sob
ReplyDeleteBtw,d atas km bilang ada cerita tentang desa kelahiranmu jg,trus d artikel yg lain km bilang setiap hari waktu sma selalu melewati kec doro,hmmmm...emang aslinya km lahir dmn nurul,
ReplyDeleteQ semakin tertarik mengikuti blog mu.
Aku pengen baca ini Nay.
ReplyDeletesayangnya kamu ga boleh mudik ya wkkwwk