like Hidden city, skyfall |
Alam mengajarkan arti kebesaran Tuhan, selalu seperti itu. Sabtu pagi, deretan pegunungan muncul dari balik kabut dan menyapa saya yang sedang menikmati segelas teh manis hangat di terminal Wonosobo, Jawa Tengah. Gunung prau, adalah tujuan perjalanan ini. Via jalur patak banteng Wonosobo, langkah saya diuji untuk bertahan atau balik arah sebab tantangannya di luar prediksi. Bukan lagi kabut atau gerimis, melainkan hujan dan petir puncak 2565 mdpl yang menghadang.
Tren naik gunung
Saya bukan yang terpengaruh film 5cm atau tren naik gunung ala anak muda kekinian. Kebetulan saja, teman-teman memang hobi mendaki dan kali ini saya sedang benar-benar penat dengan rutinitas. Meski seminggu sebelumnya masih terkapar dan 'digelonggong' jus jambu karena suspect demam berdarah dan positif typus, saya yakin bisa melihat golden sunrise di gunung Prau.
Tertidur Dari Karawang Hingga Wonosobo
Perjalanan dari Karawang ke Wonosobo kami tempuh selama 7 jam saja dengan bus Dieng Indah seharga 110.000 rupiah. Saya, bersama mas Andry, mas Usep, mba Widi, mas Arham, dan Mas Erfo tertidur pulas selama perjalanan karena kami sama-sama lelah usai pulang kerja. Seharusnya kami cukup turun di alun-alun Wonosobo. Tapi demi kemudahan berkumpul dengan tim lain tujuan kami adalah terminal yang letqknya tepat di belakang Polres itu.
Ada 2 rombongan lain dalam kelompok kami. Yaitu dari Bekasi, Ribut dan mas Kaka, Pasar Minggu mas Moza dan mba Wulan.
Sewa Bus Cebong terminal Wonosobo Ke Patak Banteng
“bu..nasi, krecek, sayur, tempe kemul, jadi berapa? Tanya saya ke ibu penjual nasi di terminal
“7000 saja”
Alhamdulillah, sarapan kenyang murah meriah untuk bekal mendaki pagi ini. Dari terminal Wonosobo, 10 orang tim Prau akan menaiki sebuah bus cebong. Hahah, ini istilah kami saja untuk bus kecil ukuran ¾ bus normal itu. Biasanya para pendaki menyewa beramai-ramai agar lebih murah. Carrier ditempatkan di atas bus dan kami dijejalkan begitu saja. Cowok-cowok berdiri , bahkan ada yang duduk di pintu bus. Rombongan kami bergabung dengan rombongan pendaki lainnya dengan tujuan yang sama yakni pos pendakian desa Patak Banteng. Tarif terminal Wonosobo ke Patak Banteng 20.000 per orang.
Sebut saja bis cebong jaya |
Satu jam bus cebong menaiki perbukitan dengan jalur berkelok-kelok. Kebun sayur terasering, karung pupuk yang seakan terbang padahal melewati tali khusus dari kebun ke kebun, perkebunan teh, gunung sindoro, dan kabut membuat saya jadi melankolis dan agak mengantuk.
“berada di pelukanmu, membuat diriku, merasakan apa artinya kenyamanan..” tapi bukan lagu itu yang saya dendangkan selama di bus cebong. Sepanjang perjalanan, pak Sopir memutar lagu-lagu dangdut lawas Itje Trisnawati.
Petualangan Sherina, Sadaaam.... |
Posko Pendakian Patak Banteng
Jalur pendakian yang kami pilih adalah via desa patak banteng. Konon, jalur ini paling ramai dipilih oleh pendaki karena cukup 2 jam saja untuk mencapai puncak. Jam 10 pagi, saat matahari sedang panas-panasnya kami memulai langkah dengan beban berat di punggung.
Baca: Tetap Cantik saat mendaki gunung
Baca: Tetap Cantik saat mendaki gunung
Aturan di gunung yang harus pendaki patuhi |
Setelah mendaftar dan membayar retribusi 10.000 rupiah per pendaki di pos pendakian balai desa patak banteng, kita akan disuguhi tangga 75 derajat yang entah ada berapa anak tangga. Tangga ini menembus perkampungan dan akhirnya ladang penduduk dengan jalan menanjak berbatu. Jalan kampung yang lebar masih sangat ringan ditempuh jika saya tidak membawa ransel berat ini, hahaha. Baru setengah jam berjalan, haus sudah mencekat.
Ondo sewu (tangga 1000) |
“tenang..pos 1 sebentar lagi..santai saja jalannya” kata Ribut (ini nama sebenarnya).
Benar saja, tak jauh dari jalan berbatu yang kami lewati, pos 1 sikut dewo menyambut mesra dengan pemandangan hamparan ladang layaknya di buku cerita. Sikut dalam bahasa jawa artinya siku, sedangkan dewo adalah dewa. Kalau menurut tafsiran ‘ngasal’ ala saya, sikut dewo berarti siku dewa karena memang bentuknya menyiku. Tapi ternyata bukan, jika gunung Prau adalah badan seorang Dewa maka pos 1 adalah sikunya. Kepalanya ada di ouncak 2565mdpl sana.
Benar saja, tak jauh dari jalan berbatu yang kami lewati, pos 1 sikut dewo menyambut mesra dengan pemandangan hamparan ladang layaknya di buku cerita. Sikut dalam bahasa jawa artinya siku, sedangkan dewo adalah dewa. Kalau menurut tafsiran ‘ngasal’ ala saya, sikut dewo berarti siku dewa karena memang bentuknya menyiku. Tapi ternyata bukan, jika gunung Prau adalah badan seorang Dewa maka pos 1 adalah sikunya. Kepalanya ada di ouncak 2565mdpl sana.
Menertawakan kehidupan |
Aku, Kau, dan Gerimis Antara Pos 1 ke Pos 2
Bukan jalan batu lagi yang kami lewati, melainkan ladang penduduk berbentuk teras. Menurut saya, ini lebih baik dan lebih terasa naik gunungnya wkwkwk. Matahari hampir berada di tengah kepala, tapi hawa dingin yang terasa. Kabut mulai turun, kami berhenti di warung-warung yang menjajakan aneka makanan bahkan tongkat kayu.
Setelah hujan berhenti, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Baru beberapa langkah, hujan kembali turun. Akhirnya, 10 orang pendaki ini berteduh di sebuah gubuk beberapa meter sebelum pos 2. Obrolan mengakrabkan kami yang belum saling kenal satu sama lain. Saat kabut makin tebal, lewatlah di depan kami seorang pendaki.
“mas..neduh dulu..sini” kata mas kaka ke pendaki yang berjalan seorang diri tersebut
“mas..neduh dulu..sini” kata mas kaka ke pendaki yang berjalan seorang diri tersebut
Dia mas Fai, yang ternyata asal Pekalongan juga. Sejak saat itu, rombongan kami menjadi 11 orang. Hujan yang tak kunjung berhenti, memaksa untuk diterabas saja.
Tanpa jas hujan, dengan selapis kemeja flanel saya menyambut hujan lebat siang itu. Jaket saya dititipkan di tas mas Fai karena tas saya sudah terlalu penuh. Daripada dipakai, nanti malah basah semua pakaian.
Jalan tanah licin, sempit, dan berlumpur membuat kami terpencar. Mas Fai sudah entah kemana, saya bersama mas Kaka dan mas Arham merayapi pos 2 Canggal Walangan.
Uji Nyali Petir Gunung pos 2 ke pos 3
Hujan semakin menjadi-jadi, lumpur dan pasir makin deras. Hutan cemara sedikit membuat saya beserta mas kaka dan mas Arham sedikit lega. Bagaimana tidak, petir gunung itu menyiutkan nyali. Tanpa aba-aba dan langsung meledak dengan kencangnya. Tiba-tiba saya berharap kalau nanti ada tas gunung yang disertai penangkal petir portable.
“kita jalannya lewat pinggir saja” kata mas Kaka
Saya dan mas Arham mengikuti di belakangnya. Kata orang, di antara pos 2 dan pos 3 ini pemandangannya indah banget. Kita bisa lihat telaga warna dan kawah si kidang. Sayang sekali, saya tidak berani menoleh ke belakang. Semua putih oleh kabut dan jurang menganga nan licin membuat kaki jeri. Pos 3 Cacingan, tidak mampu kami jadikan tempat istirahat sebab beban berat semakin menjadi-jadi.
Merangkak ke Camping Ground
Tongkat kayu tidak mampu lagi banyak membantu langkah saya. Layaknya di film 5cm, saya merangkak ke atas dengan bantuan tangan. Hidung semakin perih tertimpa air hujan, sedangkan dada berdegup menyaksikan petir semakin tak sopan. Meski saya bukan orang yang takut ketinggian, saat itu kaki saya gemetaran karena dingin dan nyali yang semakin teruji.
Bebatuan terjal, sempit, penuh lumpur dan air limpasan itu benar-benar tegap 80 derajat kurasa. Saya harus hati-hati memilih jalan. Di saat itu, saya benar-benar merasa pasrah dengan kuasa Tuhan. Teringat orang tua dan keluarga dan yang tidak saya pamiti, dan...saat itu saya tidak peduli lagi kalau saya masih single. Pokoknya, harus bisa sampai puncak.
Basah Kuyup dan Tenda Biru
“mas kaka..setelah pohon itu..kita sampai kan..?” teriak saya kepayahan di tengah hujan
“iya..habis itu..jalannya landai..”
Benar saja, meski berat dan menantang..lapangan rumput yang dipenuhi bunga Daisy warna merah muda menyambut. Saya biarkan mas Arham menyusul mas Kaka. Tidak banyak tenda yang berdiri siang itu, mungkin para pendaki masih tertahan hujan di bawah.
“mba..cepat ganti baju..di tenda saya” seru mas Fai sambil menunjuk tenda birunya
Apa? dia sudah sampai puncak dan bikin tenda?
Tanpa ba-bi-bu..langsung saja saya yang basah kuyup masuk ke tenda mungil warna biru itu. Saya mengganti semua pakaian basah saya dengan yang tersimpan di ransel (semoga tidak ada kamera tersembunyi di dalam tenda, hahhaa). Saya sudah tidak peduli lagi bahwa hujan barusan mengguyur saya dan saya perlu mandi. Hello..di gunung tidak ada sumber air. Sekedar menyeka badan dengan tisu basah saja saya tak sempat.
“mba..ini jaketnya..yang tadi..kalau mau dipakai” mas Fai menyodorkan jaket denimku
“oh iya mas..makasih ya..”
Nuansa Bening Sorenya Gunung Prau
jam 4 sore, tiga tenda telah berdiri dan semua rombongan sudah sampai dengan riang gembira meski basah.
Dinginnya angin sore gunung prau |
Badai telah berlalu, berganti nuansa bening yang indah jelang sunset di gunung Prau. Gunung Sindoro dan Sumbing menjabat tanganku yang kedinginan. Terjalnya medan dan beratnya perjalanan seakan sudah kami abaikan. Keindahan alam dan kedekatan dengan sang kuasa memberikan nuansa-nuansa ilham.
Widih ini seru nih mbak, saya baru pertama kali dengar gunung prau, ini tepatnya di daerah mana nya mbak ?
ReplyDeleteDi Dieng..Wonosobo
DeleteWow...seruuu.. Jempol utkmu, Nay.. :)
ReplyDeleteMakaasiii jempolnyaaa
DeleteWaah, serunya tracking bareng2 plus dapet pemandangan bagus...
ReplyDeletewalau lelah tetap aja masih bisa senyum lebar :D
Itulah serunya, nano nano deh..ada capek..ada bahagia..
Deletearghhh seru
ReplyDeletePrau menunggumu
Deleteseru banget!!
ReplyDeleteYoiii
Deletewell, naik gunung memang menyenangkan apalagi kalau semua persiapannya memadai, tinggal cus deh
ReplyDeleteMasih perlu belajar soal manajemen perjalanan
Deleteaduh sama persis pengalaman aku pertama kali nya ke prau..hhehe
ReplyDeleteitu sehat2 aja aku mah menggigil sampe ga bisa gerak..hahha
Alhamdulillah...soalnya langsung ganti pakaian
Deletegimana? asik kan jalan2 ke gunung, aku ke prau pas dapet zonk kabut kabeh mbak
ReplyDeleteAssik mba Ev. Ayo ajakin aku kemana
DeleteCewek keren bangetttt. Aku mah belum tentu sanggup.
ReplyDeleteSanggup Li..ini unt pemula ko
DeleteDuh, keren banget bisa naik gunung. Sayangnya saya belum sanggup dan terlalu cemen hyahahahaha
ReplyDeleteMba Vika spesialis kota kota :)
Deleteaku pengen naik gunung tapi belum terwujud euy.
ReplyDeleteWujuudkann
Deletedimana2 kalau naik gunung pasti greget2 deh, jadi pengen naik lagi nih :D
ReplyDeleteVirus naik gunung nih postingan
DeletePas liburan pulang Mei besok pengen ke Wonosobo, entah ke Dieng entah ke Prau via Kutoarjo. Mumpung deket dan belum pernah kesana. Dan setelah baca ini jadi pengen menikmati sejuknya udara gunung tapi gak mau capeknya, hahaha.
ReplyDeleteBisa ko Dew..kamu ga perlu ngecamp, liat sunrise aja..pasti ga capek
DeleteYakin mbak pas ganti baju nggak ada kamera tersembunyi, hmmm
ReplyDeleteAaawww..
DeleteKalau ada kamera tersembunyi...dia harus nikahian aku wkakkaa
OMG jawaban yang tidak terduga, wkwkwk
DeleteLhoo iyaa dong hahaha
DeleteCewe cool itu yah baik gunung kayak mba :)
ReplyDeleteMasa siih hahaha
Deletekulitku nggak sanggup kena udara dingin rulnay mletek2 bakalan :(
ReplyDeletePelembab jangan lupa. Kulitku ngletek pas udah turun..
DeleteSampe sekarang Tante belum berani naik gunung. *cemen*
ReplyDeleteHiking yuuk kapan kapan...
DeleteMasih mending dangdut itje trisnawati drpd aku ke garut naik bus muterin lagu dangdut koplo yang liriknya kaya gini :
ReplyDeleteKutau kusalah mencintai suami orang, tapi bagaimana lagi.
Maksudnya gimana lagi?!!
Wkwkkw apaa deh mba..
DeleteWah seru banget ya mbak ceritanya, huhuhu..
ReplyDeletesampai sekarang belum keturutan muncak :-(
Yuukk mariii angkat koper *eh
DeleteKencing didalam botol didenda juga. Nah itu kelakuan para lelaki.
ReplyDeleteTampak seru dan asik. Pemandangan yang begitu indah.
Ngapain sih kencing dalam botol...semak semak juga banyak
DeleteKeputusan yang berani... menembus hujan petir... semangat Nay...
ReplyDeleteSemangaatt...mbaa Ira
Deletebisa mba sekali-sekali naik gunung bareng komunitasku :)
ReplyDeleteduh duh duh....
ReplyDeleteudah lama gk naik gunung jadi lupa sama rasanya naik gunung...
pokonya gereget banget deh... :D