Buku ke-2 dari Tetralogi Buru, Anak Semua Bangsa. Bersyukur bisa membaca dengan santai buku yang pernah dilarang beredar ini. Makin cinta sama Indonesia. Nggak tahu kenapa sebenarnya buku ini pernah dilarang.
Kehadiran roman sejarah ini, bukan saja dimaksudkan untuk mengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan menentukan, namun juga mengisi isu kesusasteraan yang sangat minim menggarap periode pelik ini. Karena itu hadirnya roman ini memberi bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dan dari sisinya yang berbeda.
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku. Pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode.
Roman kedua Tetralogi, Anak Semua Bangsa, adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah Pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Di titik ini Minke diperhadapkan antara kekaguman yang melimpah-limpah pada peradaban Eropa dan kenyataan di selingkungan bangsanya yang kerdil. Sepotong perjalanannya ke Tulangan Sidoarjo dan pertemuannya dengan Khouw Ah Soe, seorang aktivis pergerakan Tionghoa, korespondensinya dengan keluarga De la Croix (Sarah, Miriam, Herbert), teman Eropanya yang liberal, dan petuah-petuah Nyai Ontosoroh, mertua sekaligus guru agungnya, kesadaran Minke tergugat, tergurah, dan tergugah, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya (Melayu) dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya.
Identitas buku
Judul: Anak Semua Bangsa
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tahun terbit: 2011 (diterbitkan pertama kali 1989)
Jumlah halaman: 533
Sinopsis (goodreads)
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku. Pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode.
Roman kedua Tetralogi, Anak Semua Bangsa, adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah Pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Di titik ini Minke diperhadapkan antara kekaguman yang melimpah-limpah pada peradaban Eropa dan kenyataan di selingkungan bangsanya yang kerdil. Sepotong perjalanannya ke Tulangan Sidoarjo dan pertemuannya dengan Khouw Ah Soe, seorang aktivis pergerakan Tionghoa, korespondensinya dengan keluarga De la Croix (Sarah, Miriam, Herbert), teman Eropanya yang liberal, dan petuah-petuah Nyai Ontosoroh, mertua sekaligus guru agungnya, kesadaran Minke tergugat, tergurah, dan tergugah, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya (Melayu) dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya.
Review
Jika di buku pertama (review di sini), masih dipaparkan tentang masa sekolah Minke..maka buku ke-2 ini adalah titik balik perjalanan Minke menelusuri kehidupan masyarakatnya. Minke blusukan, buat tahu dan kenal dengan bangsanya. Kenal sebenar-benarnya.
Kalau kamu sudah merasa 'males banget' sama Indonesia, baca Tetralogi Buru.
Gambaran semakin jelas bagaimana kondisi masyarakat jawa waktu itu, khususnya petani di sekitar perkebunan. Pernah berpikir sih 'kok orang Belanda kebunnya bisa seluas dan sesubur itu?' Ternyata oh ternyata...administratur perkebunan jaman itu luar biasa kuasanya. Bagaimana rakyat Hindia Belanda seakan masih sangat terbelakang. Saat Filipina sudah merdeka, Rakyat Hindia masih 'serem' lihat orang pakai sepatu. Tentang pergundikan, tak kalah menyayat hati. Fakta di balik perkebunan-perkebunan yang dikuasai Belanda dan kehidupan sosial di dalamnya sangat menarik bagi saya, sebab kebetulan ini nyerempet ke topik skripsi.
Saya tersentak oleh kalimat ini
"Hidupnya berputar siang-malam pada satu sumbu, dalam ruang dan lingkaran yang sama. Sibuk dengan impian sendiri saja." Ah..akukah seperti itu? Seperti pribumi masa itu?
"Dalam suatu bangsa, dengan satu asal makan dan asal minum, di atas satu negeri, bisa terjadi suatu jarak" rakyat jawa jaman itu. Bagi mereka, tak penting yang ada di luar sana. Tak terpikirkan malah. Jangankan berpikir merdeka, apa itu merdeka dan nasionalisme saja tak terjangkau oleh siswa HBS putra Bupati, Minke.
"Sekali suatu golongan bangkit, suatu bangsa bangkit, kekuatannya takkan dapat dibendung lagi." Itulah kalimat yang menggetarkan Minke. Betapa selama ini dia benar-benar tidak tahu apa-apa.
Rate
4 dari 5
Quote
4 dari 5
Quote
“Sahabat dalam kesulitan adalah sahabat dalam segala-galanya. Jangan sepelekan persahabatan. Kehebatannya lebih besar daripada panasnya permusuhan.”
"Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana.”