Padat, gamblang, menyegarkan. Buku yang harus dibaca bukan hanya oleh orang Islam.
Judul: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai
Penulis: Emha Ainun Najib
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun terbit: 2015, pernah diterbitkan dengan judul yang sama pada 1994
Genre: Tasawuf
Jumlah Halaman: 418
Sinopsis
Dulu di sebuah pesantren, ada dua orang kiai yang berdebat tentang hukum kesenian. Salah seorang dari mereka bersikeras bahwa kesenian itu syirik, bahkan haram. Kami para santri menyaksikan perdebatan itu dengan hati berdebar. Dari kejauhan, terdengar suara musik dari loudspeaker. Kiai yang saya kisahkan itu mulai meledak-ledak dan menyebut seni itu haram, tetapi kedua kakinya bergerak-gerak mengikuti irama musik dari kejauhan.
Kami, para santri, melihat bahwa kaki beliau itu bukan bergerak menggeleng-geleng, melainkan mengangguk-angguk. Maka, kami tiru anggukan ritmis kaki Pak Kiai itu, sebab gerak kaki beliau itu lebih merupakan ungkapan batinnya dibanding lisannya.
***
Melalui buku ini, Emha Ainun Nadjib, menguliti dalam-dalam perkara kemusliman “birokrasi”. Ketaatan yang penuh rasa “takut pada atasan”, bukan kecintaan dan pengabdian pada Tuhan. Semua kemudian berputar pada surga dan neraka, halal dan haram, pahala dan dosa. Detail-detail ritual yang malah memicu perbedaan pendapat antarumat, serta dengan gampang mengkafirkan orang lain. Dalam kegelisahannya, Emha seolah berbicara pada naluri kita dan berkata, “Apa tidak malu kita kepada-Nya, pada akal dan perasaan kita sendiri?”
Kami, para santri, melihat bahwa kaki beliau itu bukan bergerak menggeleng-geleng, melainkan mengangguk-angguk. Maka, kami tiru anggukan ritmis kaki Pak Kiai itu, sebab gerak kaki beliau itu lebih merupakan ungkapan batinnya dibanding lisannya.
***
Melalui buku ini, Emha Ainun Nadjib, menguliti dalam-dalam perkara kemusliman “birokrasi”. Ketaatan yang penuh rasa “takut pada atasan”, bukan kecintaan dan pengabdian pada Tuhan. Semua kemudian berputar pada surga dan neraka, halal dan haram, pahala dan dosa. Detail-detail ritual yang malah memicu perbedaan pendapat antarumat, serta dengan gampang mengkafirkan orang lain. Dalam kegelisahannya, Emha seolah berbicara pada naluri kita dan berkata, “Apa tidak malu kita kepada-Nya, pada akal dan perasaan kita sendiri?”
Review
Membaca buku bergenre tasawuf apalagi setebal ini membuat saya awalnya 'ngeri'. Duh berat banget di bab-bab awal tentang Ubudiyah. Di bagiaj selanjutnya saya mulai menikmati, saat penulis memaparkan tentang Islam dalam perspektif kebudayaan. Tema-tema yang diambil masih kekinian meskipun ditulis di tahun 90an. Bagian selanjutnya agak berat lagi, tentang Kiai Sudrun. Sebuah perlambang seorang manusia yang dicap sebagai kiai dalam menghadapi berbagai problematika kehidupan. Bagi saya yang IQ nya kelas melati, memakai lambang dan kode begini cukup menjemukan. Tapi, di bagian akhir yang bertajuk renungan lepas,,,ahhhh...saya suka. Inilah hal-hal yang sering kita renungkan. Dari sini saya tahu, bahwa mantan presiden Soeharto pernah memberikan instruksi kepada para gubernur agar mereka menghindari "harta, tahta, wanita". Alamakkk...mana ada presiden di negara lain yang melakukan seperti ini. Coba renungkan kalau presiden saat ini memfatwakan hal serupa. Kok saya rasa lucu, walaupun benar.
Selesai dibaca, buku ini lecek sana-sini. Betapa sering dibolak-balik biar paham, keluar-masuk coffee shop, diuyel-uyel di tas, dan dibuka dalam berbagai pose membaca (duduk, tengkurep, tiduran, bediri, dsb).
Sebuah pencerahan batin agar bisa berlaku sebagai manusia sesuai dengan hakikatnya. Paling nyaman membaca Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai di pagi hari, selepas sholat subuh sambil ngeteh...anyone?
Dari buku ini saya belajar bagaimana kita bisa menyampaikan hal yang membuat kita galau tanpa tampak marah atau benci. Melihat dari berbagai dimensi.
Rate
4 dari 5 bintang
Quote
"Peribadahan..baru kita butuhkan sebagai identitas keagamaan atau semacam 'pil penenang', tetapi ia belum memancar cukup tajam pada tingkah laku sosial budaya kita. Semua itu menunjukan tingkat kepatuhan, kesetiaan, dan pasrah kita terhadap Allah, yang masih belum cukup berkualitas."
- page 73
kayaknya enak dibaca... cuma kalau sudah bau tasawuf kayaknya pikir-pikir deh... selain kuatir enggak paham juga kuatir salah paham
ReplyDeletenovelnya kang abik lebih aman buat aku
api tauhid bagus kok rul...
Sudah masuk waiting list Nin buku itu :-)
Delete